Jumat, 10 Juli 2009

TAKDIR 2

Takdir dalam Bahasa Al-Quran

Kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal dari
akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi
kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah
menakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah
memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau
kemampuan maksimal makhluk-Nya."

Dari sekian banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semua
makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidak
dapat melampaui batas ketetapan itu, dan Allah Swt. menuntun
dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju.
Begitu dipahami antara lain dari ayat-ayat permulaan Surat
Al-A'la (Sabihisma),

"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan
(semua mahluk) dan menyempurnakannya, yang memberi takdir
kemudian mengarahkan(nya)" (QS Al-A'la [87]: 1-3).

Karena itu ditegaskannya bahwa:

"Dan matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah
takdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi
Maha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]: 38).





Demikian pula bulan, seperti firman-Nya sesudah ayat di
atas:

"Dan telah Kami takdirkan/tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah
yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang
tua" (QS Ya Sin [36]: 39)

Bahkan segala sesuatu ada takdir atau ketetapan Tuhan
atasnya,

"Dia (Allah) Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia
menetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengan
sesempurna-sempurnanya" (QS Al-Furqan [25]: 2).

"Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah
khazanah (sumber)nya; dan Kami tidak menurunkannya kecuali
dengan ukuran tertentu" (QS Al-Hijr [15]: 21).

Makhluk-Nya yang kecil dan remeh pun diberi-Nya takdir.
Lanjutan ayat Sabihisma yang dikutip di atas menyebut
contoh, yakni rerumputan.

"Dia Allah yang menjadikan rumput-rumputan, lalu
dijadikannya rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman" (QS
Sabihisma [87]: 4-53)

Mengapa rerumputan itu tumbuh subur, dan mengapa pula ia
layu dan kering. Berapa kadar kesuburan dan kekeringannya,
kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah Swt., melalui
hukum-hukum-Nya yang berlaku pada alam raya ini. Ini berarti
jika Anda ingin melihat rumput subur menghijau, maka
siramilah ia, dan bila Anda membiarkannya tanpa
pemeliharaan, diterpa panas matahari yang terik, maka pasti
ia akan mati kering kehitam-hitaman atau ghutsan ahwa
seperti bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkau
seluruh makhluk-Nya. Walhasil,

"Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadarnya" (QS
Al-Thalaq [65]: 3)

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi
kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat
dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak
ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia.
Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan
ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat
disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering
secara salah kaprah disebut "hukum-hukum alam."

Penulis tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah
dengan takdir. Karena sunnatullah yang digunakan oleh
Al-Quran adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku
bagi masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum
kemasyarakatan dan hukum-hukum alam. Dalam Al-Quran
"sunnatullah" terulang sebanyak delapan kali, "sunnatina"
sekali, "sunnatul awwalin" terulang tiga kali; kesemuanya
mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada
masyarakat. Baca misalnya QS Al-Ahzab (33): 38, 62 atau
Fathir 35, 43, atau Ghafir 40, 85, dan lain-lain.

Matahari, bulan, dan seluruh jagat raya telah ditetapkan
oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar,

"Datanglah (hai langit dan bumi) menurut perintah-Ku, suka
atau tidak suka!" Keduanya berkata, "Kami datang dengar
penuh ketaatan."

Demikian surat Fushshilat (41) ayat 11 melukiskan
"keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya."

Apakah demikian juga yang berlaku bagi manusia? Tampaknya
tidak sepenuhnya sama.

[+/-] Baca selengkapnya...

Kamis, 02 Juli 2009

TAKDIR (Bag.1)

Ketika Mu'awiyah ibn Abi Sufyan menggantikan Khalifah IV,
Ali ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat kepada salah
seorang sahabat Nabi, Al-Mughirah ibn Syu'bah menanyakan,
"Apakah doa yang dibaca Nabi setiap selesai shalat?" Ia
memperoleh jawaban bahwa doa beliau adalah,

"Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai
Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri,
tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi,
tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber
dari-Mu (HR Bukhari).

Doa ini dipopulerkannya untuk memberi kesan bahwa segala
sesuatu telah ditentukan Allah, dan tiada usaha manusia
sedikit pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini, dinilai oleh
banyak pakar sebagai "bertujuan politis," karena dengan doa
itu para penguasa Dinasti Umayah melegitimasi kesewenangan
pemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah. Begitu tulis
Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalam
Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203).



Tentu saja, pandangan tersebut tidak diterima oleh
kebanyakan ulama. Ada yang demikian menggebu menolaknya
sehingga secara sadar atau tidak -mengumandangkan pernyataan
la qadar (tidak ada takdir). Manusia bebas melakukan apa
saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia
kebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum
kalau dia tidak memiliki kebebasan itu? Bukankah Allah
sendiri menegaskan,

"Siapa yang hendak beriman silakan beriman, siapa yang
hendak kufur silakan juga kufur" (QS Al-Kahf [18]: 29).

Masing-masing bertanggung jawab pada perbuatannya
sendiri-sendiri. Namun demikian, pandangan ini juga
disanggah. Ini mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah.
Bukankah Allah Mahakuasa? Bukankah

"Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan" (QS
Al-Shaffat [37]: 96).

Tidakkah ayat ini berarti bahwa Tuhan menciptakan apa yang
kita lakukan? Demikian mereka berargumentasi. Selanjutnya
bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,

"Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapatterlaksana) kecuali
dengan kehendak Allah jua" (QS Al-Insan [76]: 30).

Demikian sedikit dari banyak perdebatan yang tak kunjung
habis di antara para teolog. Masing-masing menjadikan
Al-Quran sebagai pegangannya, seperti banyak orang yang
mencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka.

Kemudian didukung oleh penguasa yang ingin mempertahankan
kedudukannya, dan dipersubur oleh keterbelakangan umat dalam
berbagai bidang, meluaslah paham takdir dalam arti kedua di
atas, atau paling tidak, paham yang mirip dengannya

Yang jelas, Nabi dan sahabat-sahabat utama beliau, tidak
pernah mempersoalkan takdir sebagaimana dilakukan oleh para
teolog itu. Mereka sepenuhnya yakin tentang takdir Allah
yang menyentuh semua makhluk termasuk manusia, tetapi
sedikit pun keyakinan ini tidak menghalangi mereka
menyingsingkan lengan baju, berjuang, dan kalau kalah
sedikit pun mereka tidak menimpakan kesalahan kepada Allah.
Sikap Nabi dan para sahabat tersebut lahir, karena mereka
tidak memahami ayat-ayat Al-Quran secara parsial: ayat demi
ayat, atau sepotong-sepotong terlepas dari konteksnya,
tetapi memahaminya secara utuh, sebagaimana diajarkan oleh
Rasulullah Saw.(Quraish Shihab)

[+/-] Baca selengkapnya...

 

blogger templates | Make Money Online