Rabu, 13 Juni 2012

wahabi dan Soekarno

Hebat, Bung Karno pun Mengagumi Wahhabi ! Oleh: Artawijaya Kepada A. Hassan, Soekarno bercerita keinginannya membaca buku “Utusan Wahabi.” Ia juga bercerita telah menerjemahkan buku biografi Ibnu Saud. “Bukan main hebatnya ini biografi! Saya jarang menjumpai biografi yang begitu menarik hati,” ujar Bung Karno. Sepucuk surat nun jauh dari tanah seberang dikirimkan kepada Tuan A. Hassan, guru utama Persatuan Islam (Persis). Sang pengirim bukanlah sembarang orang. Ia tokoh muda bangsa yang kala itu berada dalam pengasingan di Ende, Nusa Tenggara Timur. Soekarno, nama pengirim surat itu, tak lain adalah sosok yang kemudian hari menjadi founding father dan presiden pertama Republik Indonesia. Soekarno sosok yang berapi-api, cerdas, dan ambisius. Dari tanah pengasingan yang sepi, Soekarno berkirim surat kepada Tuan Hassan, begitu A. Hassan biasa disapa paperglass pada saat itu. Bagi Soekarno, A. Hassan adalah sahabat sekaligus guru dalam mempelajari Islam. Ia mengagumi karya-karyanya, termasuk juga mengagumi cara pandangnya terhadap ajaran-ajaran Islam. Kepada Tuan Hassan, Soekarno berkirim kabar dan bercerita panjang lebar mengenai berbagai hal, di antaranya soal taklid, takhayul, kejumudan umat Islam, dan lain sebagainya. Ia juga menceritakan keinginannya untuk mendapatkan bahan-bahan bacaan Islam, terutama karya-karya A. Hassan. Di antara karya A. Hassan yang ingin sekali ia baca adalah buku berjudul, “Utusan Wahabi”. Sepucuk surat itu ia tulis dengan ketulusan, sebagai berikut: Endeh, 1 Desember 1934 Assalamu’alaikum, Jikalau saudara memperkenankan, saya minta saudara mengasih hadiah kepada saya buku-buku yang tersebut berikut ini: Pengajaran Sholat, Utusan Wahabi, Al-Muctar, Debat Talqien. Al-Burhan Complete, Al-Jawahir. Kemudian, jika saudara bersedia, saya minta sebuah risalah yang membicarakan soal “sajid” (kalangan sayyid atau habaib, red). Ini buat saya bandingkan dengan alasan-alasan saya sendiri tentang hal ini. Walaupun Islam zaman sekarang menghadapi soal yang beribu-ribu kali lebih besar dan lebih rumit dari pada soal “sajid” itu, tetapi toch menurut keyakinan saya, salah satu kejelasan Islam Zaman sekarang ini, ialah pengeramatan manusia yang menghampiri kemusyrikan itu. Alasaan-alasan kaum “sajid” misalnya, mereka punya “brosur kebenaran”, saya sudah baca, tetapi tidak bisa menyakinkan saya. Tersesatlah orang yang mengira, bahwa Islam mengenal satu “Aristokrasi Islam”. Tiada satu agama yang menghendaki kesamarataan lebih daripada Islam. Pengeramatan manusia itu adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwa suatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu melanggar tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebathilan! Sebelum dan sesudahnya terima itu buku-buku yang saya tunggu-tunggu benar, saya mengucapkan terimakasih. Wassalam, Soekarno Pada kesempatan lain, Soekarno juga berkirim kabar kepada A. Hassan, memohon agar guru Persatuan Islam (Persis) itu membantu perekonomian keluarganya, dengan membeli karya terjemahannya mengenai Ibnu Saud. Soekarno menceritakan kekagumannya kepada Ibnu Saud setelah menerjemahkan sebuah karya berbahasa Inggris mengenai sosok tersebut. “Bagi saya buku ini bukan saja satu ikhtiar ekonomi, tetapi adalah pula satu pengakuan, satu confenssion. Ia menggambarkan Ibnu Saud dan Wahhabism begitu rupa, mengkobar-kobarkan elemen amal, perbuatan begitu rupa hingga banyak kaum ‘tafakur’ dan kaum pengeramat Husain cs (Syiah, pen) akan kehilangan akal nanti sama sekali,” tulisnya. Kepada Tuan Hassan, ia menuliskan sebagai berikut: Endeh, 12 Juli 1936 Assalamu’alaikum, Saudara! Saudara punya kartu pos sudah saya terima dengan girang. Syukur kepada Allah SWT punya usul Tuan terima!. Buat mengganjal saya punya rumah tangga yang kini kesempitan, saya punya onderstand dikurangi, padahal tadinya sudah sesak sekali buat mempelajari segala saya punya keperluan, maka sekarang saya lagi asyik mengerjakan terjemahan sebuah buku Inggris yang mentarikhkan Ibnu Saud. Bukan main hebatnya ini biografi! Saya jarang menjumpai biografi yang begitu menarik hati. Tebalnya buku Inggris itu, format Tuan punya tulisan “Al-Lisaan”, adalah 300 muka, terjemahan Indonesia akan menjadi 400 muka (halaman, pen). Saya saudara tolong carikan orang yang mau beli copy itu barangkali saudara sendiri ada uang buat membelinya? Tolonglah melonggarkan rumah tangga saya yang disempitkan korting itu. Bagi saya buku ini bukan saja satu ikhtiar ekonomi, tetapi adalah pula satu pengakuan, satu confenssion. Ia menggambarkan Ibnu Saud dan Wahhabism begitu rupa, mengkobar-kobarkan elemen amal, perbuatan begitu rupa hingga banyak kaum ‘tafakur’ dan kaum pengeramat Husain c.s akan kehilangan akal nanti sama sekali. Dengan menjalin ini buku, adalah suatu confenssion bagi saya bahwa, walaupun tidak semua mufakat tentang system Saudisme yang juga masih banyak feudal itu, toch menghormati dan kagum kepada pribadinya itu yang “toring above all moslems of his time; an Immense man, tremendous, vital, dominant. A gian thrown up of the chaos and agrory of the desert, to rule, following the example of this great teacher , Mohammad”. Selagi menggoyangkan saya punya pena buat menterjemahkan biografi ini, jiwa saya ikut bergetar karena kagum kepada pribadi orang yang digambarkan. What a man! Mudah-mudahan saya mendapat taufik menjelaskan terjemahan ini dengan cara yang bagus dan tak kecewa. Dan mudah-mudahan nanti ini buku, dibaca oleh banyak orang Indonesia, agar bisa mendapat inspirasi daripadanya. Sebab, sesungguhnya buku ini penuh dengan inspirasi. Inspirasi bagi kita punya bangsa yang begitu muram dan kelam hati. Inspirasi bagi kaum muslimin yang belum mengerti betul-betul artinya perkataan “Sunah Nabi”, yang mengira, bahwa Sunah Nabi SAW itu hanya makan kurma di bulan puasa dan cela’ mata dan sorban saja !. Saudara, please tolonglah. Terimakasih lahir-batin, dunia-akherat. Wassalam, Soekarno Kepada A. Hassan, Soekarno juga bercerita mengenai ibu mertuanya yang telah meninggal dan kritik yang dialamatkan kepadanya karena ia dan keluarga tidak mengadakan acara tahlilan untuk almarhumah ibu mertuanya. Dalam surat tertanggal 14 Desember 1935, Soekarno menulis: “Kaum kolot di Endeh, di bawah ajaran beberapa orang Hadaramaut, belum tenteram juga membicarakan halnya tidak bikin ‘selamatan tahlil’ buat saya punya ibu mertua yang baru wafat itu, mereka berkata bahwa saya tidak ada kasihan dan cinta pada ibu mertua itu. Biarlah! Mereka tak tahu-menahu, bahwa saya dan saya punya istri, sedikitnya lima kali satu hari, memohonkan ampunan bagi ibu mertua itu kepada Allah. Moga-moga ibu mertua diampuni dosanya dan diterima iman Islamnya. Moga-moga Allah melimpahkan Rahmat-Nya dan Berkat-Nya…” Begitulah cuplikan surat-surat Soekarno kepada sahabatnya, Tuan A. Hassan. Sahabatnya yang pada masa lalu mendapat stigma “Wahabi” dan dianggap membawa paham baru soal Islam. Unik memang persahabatan Soekarno dan A. Hassan. Karena pada masa selanjutnya, dua orang sahabat ini berbeda pandangan soal hubungan agama dan negara. Meski sahabat karib, A. Hassan tak segan-segan mengkritik Soekarno yang begitu mengidolakan sekularisasi yang diusung oleh tokoh sekular Turki, Mustafa Kamal Attaturk. Bagi A. Hassan, Islam tak bisa dipisahkan dari urusan negara. Kritik A. Hassan terhadap paham sekular Soekarno bisa dilihat dalam buku “Islam dan Kebangsaan“, sebuah karya fenomenal A. Hassan yang mengkritisi kelompok nasionalis-sekular pada masa itu. Toh, meski berbeda pandangan, ketika Soekarno di penjara di Bandung, Tuan Hassan dan para anggota Persatuan Islam tetap membesuknya sebagai sahabat. [voa-islam.com] Kamis, 01 Dec 2011 Demikian tulisan Artawijaya yang dimuat situs voaislam.com. Berikut ini ada catatan nahimunkar.com: Oleh-oleh Presiden Soekarno untuk A Hassan Kitab suci (palsu) Tadzkirah yang sering ditenteng M Amin Djamaluddin ketua LPPI, menurut cerita dia, adalah oleh-oleh Soekarno atas pesanan A Hassan. Karena sebelum berangkat untuk berkunjung ke India, Presiden Soekarno menawari A Hassan, mau dibawakan oleh-oleh apa. Maka A Hassan minta dibelikan kitab suci (palsu) Ahmadiyah bernama Tadzkirah Wahyu Muqaddas, yang disebut sebagai kumpulan wahyu untuk nabi (palsu) Mirza Ghulam Ahmad. Betapa dahsyatnya penghancuran aqidah Islam dalam kitab Tadzkirah itu, tidak dapat dianggap kecil sama sekali. Karena di dalamnya ada “wahyu” yang sangat sesat, jelas-jelas wahyu syetan. Bunyinya: اَنْتَ مِنِّىْ وَاَناَ مِنْكَ Engkau (Mirza Ghulam Ahmad) dari-KU (Allah) dan Aku darimu. (Tadzkirah, halaman 436). Astaghfirullah… sebegitu sesatnya. Namun anehnya, orang-orang liberal bahkan ada yang julukannya kyai tokoh NU masih pula tidak malu membela Ahmadiyah. (lihat nahimunkar.com 30 April 2008, Ngawurnya A. Mustofa Bisri dalam Membela Ahmadiyah http://nahimunkar.com/49/ngawurnya-a-mustofa-bisri/) Sesatnya kitab Tadzkirah itu dan rangkaiannya, dapat dibaca di buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Kyai kok Bergelimang Kemusyrikan, terbitan Saudi Arabia, dan terbitan Surabaya, Pustaka Nahi Munkar. (Pustaka Nahi Munkar Surabaya, 031 70595271, 5911584 atau 08123125427, dan Jakarta Toko Buku Fithrah 021 8655824, 71490693, HP. 081319510114).

[+/-] Baca selengkapnya...

dasar megara berdasar UUD 45 adalah syariah

TERNYATA DASAR NEGARA KITA BUKAN PANCASILA ? Redaksi Salam-Online – Jum'at, 11 Rajab 1433 H / 1 Juni 2012 23:41 JAKARTA (salam-online.com): Bagi sebagian kalangan, diyakini 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Ini didasari pidato Bung Karno tentang Pancasila pada 1 Juni 1945. Karenanya, bagi kalangan ini, 1 Juni jadi tanggal yang, terutama pasca Orba, diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Sejak Taufik Kiemas jadi Ketua MPR, pada setiap 1 Juni ia menggelar ‘hajatan’ di Gedung DPR/MPR, mengundang presiden, wapres, mantan presiden dan wapres. Selama ini kita mengenal Pancasila sebagai Dasar Negara RI. Tapi menurut Dr Eggie Sudjana, SH. Msi, Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia tidak terdapat dalam UUD 1945. Bagaimana ulasannya? Berikut kronologi cerita tentang Pancasila ‘bukan Dasar Negara Indonesia’: Adalah Ustadz Ahmad Sarwat, Lc yang dalam kolom konsultasinya pernah ditanya terkait dengan pernyataan Dr Eggie Sudjana, SH, Msi, yang dalam kesempatan sebelumnya melakukan debat dengan Abdul Muqsith dari kelompok Liberal dan Pluralisme Agama di salah satu stasiun televisi yang disiarkan secara nasional. Debat ini dilakukan menyikapi bentrokan yang terjadi antara AKK-BB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) dengan FPI di Monas (1 Juni 2008) karena pertentangan dalam menghadapi kasus aliran sesat Ahmadiyah di Indonesia. Berikut pertanyaan untuk Ustadz Ahmad Sarwat dalam kolom konsultasinya: Assalamu’alaikum Wr. Wb. Ana tertarik dengan apa yang disampaikan Bapak Eggi Sudjana di salah satu stasiun TV swasta. Beliau menyampaikan bahwa dasar hukum negara Indonesia yang benar adalah hukum Allah SWT. Beliau berpijak dari sisi historis dan sosiologi bahwa sesuai dengan pembukaan UUD 1945 Negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan YME, dan hanya atas berkat rahmat Allah SWT Indonesia dapat merdeka. Saya yakin kalau hukum yang bersumber dari Allah SWT ini dapat di terapkan, kita akan bahagia dunia akhirat Mohon tanggapan Pak Ustadz…! Terima kasih Wassalam Abu Mufid bangmufid@gmail.com Jawaban: Dalam menanggapi pertanyaan di atas, Ustadz Ahmad Sarwat menyatakan hal berikut: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Memang cukup mengejutkan juga apa yang disampaikan oleh Dr Eggi Sudjana, SH, Msi, dalam talkshow di TV swasta malam itu. Beliau menyebutkan bahwa kalau dicermati, ternyata justru negara Indonesia ini secara hukum bukanlah berdasarkan Pancasila. Sebaliknya, di dalam UUD 45 malah ditegaskan bahwa dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan sesuai dengan Preambule atau Pembukaan UUD 1945, Tuhan yang dimaksud tidak lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga secara hukum jelas sekali bahwa dasar negara kita ini adalah Islam atau hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pernyataan itu muncul saat berdebat dengan Abdul Muqsith yang mewakili kalangan AKK-BB. Saat itu Abdul Muqsith menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam, bukan berdasarkan Al-Quran dan hadits, tetapi berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Mungkin maunya Abdul Muqsith menegaskan bahwa Ahmadiyah boleh saja melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, toh negara kita kan bukan negara Islam, bukan berdasarkan Quran dan Sunnah. Tetapi tiba-tiba Mas Eggi balik bertanya tentang siapa yang bilang bahwa dasar negara kita ini Pancasila? Mana dasar hukumnya kita mengatakan itu? Abdul Muqsith cukup kaget diserang seperti itu. Rupanya dia tidak siap ketika diminta untuk menyebutkan dasar ungkapan bahwa negara kita ini berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Saat itulah Mas Eggi langsung menyebutkan bahwa yang ada justru UUD 45 menyebutkan tentang dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan Pancasila. Sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 45 pasal 29 ayat 1. Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Eggi Sujana itu. Iya ya, mana teks resmi yang menyebutkan bahwa dasar negara kita ini Pancasila. Kita yang awam ini agak terperangah juga mendengar seruan itu. Entahlah apa ada ahli hukum lain yang bisa menjawabnya. Yang jelas, Abdul Muqsith itu hanya bisa diam saja, tanpa bisa menjawab apa yang ditegaskan leh Eggi Sujana. Dan rasanya kita memang tidak atau belum menemukan teks resmi yang menyebutkan bahwa dasar negara kita ini Pancasila. Diskusi itu menjadi menarik, lantaran kita baru saja tersadar bahwa dasar negara kita menurut UUD 45 ternyata bukan Pancasila sebagaimana yang sering kita hafal selama ini sejak SD. Pasal 29 UUD 45 aya 1 memang menyebutkan begini: “1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” Lalu siapakah Tuhan yang dimaksud dalam pasal ini, jawabannya menurut Eggi adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.. Karena di pembukaan UUD 45 memang telah disebutkan secara tegas tentang kemerdekaan Indonesia yang merupakan berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam argumentasi Mas Eggi, yang namanya batang tubuh dengan pembukaan tidak boleh terpisah-pisah atau berlawanan. Kalau di batang tubuh yaitu pasal 29 ayat 1 disebutkan bahwa negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, maka Tuhan itu bukan sekadar Maha Esa, juga bukan berarti tuhannya semua agama. Tetapi Tuhannya umat Islam, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.. Hal itu lantaran secara tegas Pembukaan UUD 45 menyebutkan lafadz Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan hal itu tidak boleh ditafsirkan menjadi segala macam tuhan, bukan asal tuhan dan bukan tuhan-tuhan buat agama lain. Tuhan Yang Maha Esa di pasal 29 ayat 1 itu harus dipahami sebagai Allah Subhanahu wa Ta’ala., bukan Yesus, bukan Bunda Maria, bukan Sidharta Gautama, bukan dewa atau pun tuhan-tuhan yang lain. Lepas apakah nanti ada ahli hukum tata negara yang bisa menepis pandangan Eggi Sujana itu, yang pasti Abdul Muqsith tidak bisa menjawabnya. Dan pandangan bahwa negara kita ini bukan negara Islam serta tidak berdasarkan Quran dan Sunnah, secara jujur harus kita akui harus dikoreksi kembali. Sebab kalau kita lihat latar belakang semangat dan juga sejarah terbentuknya UUD 45 oleh para pendiri negeri ini, nuansa Islam sangat kental. Bahkan ada opsi yang cukup lama untuk menjadikan negara Indonesia ini sebagai negara Islam yang formal. Bahkan awalnya, sila pertama dari Pancasila itu masih ada tambahan 7 kata, yaitu: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun lewat tipu muslihat dan kebohongan yang nyata, dan tentunya perdebatan panjang, 7 kata itu harus dihapuskan. Sekadar memperhatikan kepentingan kalangan Kristen yang merasa keberatan dan main ancam mau memisahkan diri dari NKRI. Padahal 7 kata itu sama sekali tidak mengusik kepentingan agama dan ibadah mereka. Toh Indonesia ini memang mayoritas Muslim, tetapi betapa lucunya, tatkala pihak mayoritas mau menetapkan hukum di dalam lingkungan mereka sendiri lewat Pancasila, kok bisa-bisanya orang-orang di luar Islam pakai acara protes segala. Padahal apa urusannya mereka dengan 7 kata itu. Kalau dipikir-pikir, betapa tidak etisnya kalangan Kristen saat awal kita mendirikan negara, dimana mereka sudah ikut campur urusan keyakinan lain, yang mayoritas pula. Sampai mereka berani nekat mau memisahkan diri sambil berdusta bahwa Indonsia bagian timur akan segera memisahkan diri kalau 7 kata itu tidak dihapus. Akhirnya dengan legowo para ulama dan pendiri negara ini menghapus 7 kata itu, demi untuk persatuan dan kesatuan. Tapi apa lacur, air susu dibalas air tuba. Alih-alih duduk rukun dan akur, kalangan Kristen yang didukung kalangan sekuler itu tidak pernah berhenti ingin menyingkirkan Islam dari negara ini. Dan semangat penyingkiran Islam dari negara semakin menjadi-jadi dengan adanya penekanan asas tunggal di zaman Soeharto. Semua ormas apalagi orsospol wajib berasas Pancasila. Sesuatu yang di dalam UUD 45 tidak pernah disebut-sebut. Malah yang disebut justru negara ini berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan Tuhan yang dimaksud itu adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesuai dengan yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 45. Jadi sangat tepat kalau kalangan sekuler harus sibuk membuka-buka kembali literatur untuk cari-cari argumen yang sekiranya bisa membuat Islam jauh dari negara ini. Namanya perjuangan, pasti mereka akan terus mencari dan mencari argumen-argumen yang sekiranya bisa dijadikan bahan untuk dijadikan alibi yang menjauhkan Islam dari negara. Sebab mereka memang alergi dengan Islam. Seolah-olah Islam itu harus dimusuhi, atau merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai. Kita harus akui bahwa kalangan sekuler anti Islam itu cukup banyak. Dalam kepala mereka, mungkin lebih baik negara ini menajdi komunis daripada jadi negara Islam. Astaghfirullahal’azhiim. Wallahu a’lam bishshawab Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc

[+/-] Baca selengkapnya...

 

blogger templates | Make Money Online